Sejarah Pendidikan Islam

PENDAHULUAN
Islam merupakan suatu komponen yang penting dan ikut serta untuk mewarnai corak kehidupan dalam masyarakat Indonesia. Kemenangan Islam dalam mempengaruhi kehidupan di lingkungan masyarakat Indonesia, menjadiakan Islam sebagai agama yang paling utama dan merupakan suatu prestasi yang paling membanggakan. Dalam hal ini, bisa dilihat dari segi geografis, bahwasannya jarak negara Indonesia dengan negara asal Islam (jazirah Arab) cukup jauh. Namun, jika di lihat dari proses awal penyebaran Islam di kepulauan Nusantara ini, masih belum ada suatu metode atau organisasi-organisasi dakwah yang sudah dianggap efektif untuk menyempaikan dan memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat luas.
Pendidikan Islam sudah dikenal pada awal kedatangan Islam ke Indonesia. Dalam pendidikan ini, yang digunakan adalah sistem sorogan atau perorangan dan cara penyampaianya itu sangat sederhana serta tidak mengenal suatu tingkatan-tingkatan seperti pada pendidikan yang berada di pesantren, langgar, dan setelah itu berkembang dengan sistem kelas yang seperti pada pendidikan madrasah. Pendidikan Islam di Indonesia, hubungannya sangat erat sekali dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agama tersebut ke Indonesia. karena pemeluk agama baru itu sudah barang tentu memeluk agama itu karena ingin mengetahui dan mendalami ajaran-ajaran agama Islam.

Sehingga mulai timbul pendidikan Islam, di mana pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar atau surau, masjid, dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren.

Pendidikan Islam di mulai sejak Islam itu sendiri masuk dan menancapkan dirinya di Indonesia, namun secara pasti belum bisa diketahui tentang bagaimana cara pendidikan pada awal Islam masuk di Indonesia, contohnya sistem pendidikan, buku-buku yang digunakan dan bagaimana pengolahannya. Dikarenakan bahan-bahan yang di gunakan itu sangat terbatas. Sehingga bisa di pastikan kalau pendidikan Islam sudah ada pada saat Islam itu sendiri tiba di kepulauan ini, tapi masih dalam betuk yang sangat sederhana.
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, tidak terlepas dari keinginan dan cita-cita untuk membandingkan dan memadukan hubungan serasi antara suatu pemahan agama Islam dan perkembagan ilmu pengetahuan modern. Hal ini setara dengan perkembangan serta kebangkitan umat Islam itu sendiri di seluruh dunia. Maksud usaha tersebut yaitu untuk memperbaharui dan memperbaiki sistim pendidikan Islam agar dapat menemukan kembali warisan-warisan yang di tinggalkan oleh para ulama dan cendekiawan muslim dalam sejarah masa lalu.
Perguruan Tinggi Islam memiliki tugas penting, yaitu untuk dapat menyelenggarakan pendidikan, pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan agama Islam sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 20 ayat 2 ditegaskan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Perguruan tinggi Islam berusaha agar dapat menjadi pusat kajian dan pengembangan ilmu agama Islam yang mengarahkan kepada terciptanya tujuan pendidikan, berusaha untuk mempersiapakan peserta didik supaya menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik, intelektual dan profesional, sehingga mampu membangkitkan, mengembangkan, menyebarluaskan dan menerapkan ilmu pengetahuan agama Islam, serta meningkatkan kecerdasan umat Islam dan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Penyelenggaraan tugas tersebut yang merupakan syarat bagi perguruan tinggi dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang nasional, termasuk perguruan tinggi Islam. Berhubungan dengan tugas perguruan tinggi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, perguruan tinggi Islam memberikan suatu penekanan aspek moral agama Islam yang melandasi semua ilmu bidang pengetahuan baik ilmu pengetahuan agama atau ilmu pengetahuan umum yang dikembangkannya.
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan yang bertujuan untuk menemukan bentuknya yang sempurna. Ini merupakan visi dan misi perguruan tinggi Islam dalam mencetak generasi bangsa yang bermoral islami. Dalam perkembangannya, perguruan Tinggi Islam belum bisa menjawab tantangan pada zaman yang semakin mengglobal ini, terutama dalam bidang teknologi dan informasi. Persaingan yang semakin ketat dalam bidang itu, sepertinya perguruan tinggi Islam di Indonesia masih di bawah perguruan tinggi lainnya, untuk itu dibutuhkan usaha, inovasi-inovasi dan suatu pemikiran-pemikiran yang kreatif agar dapat menjawab tantangan di masa depan yang sudah tampak jelas di depan mata.
A. SEJARAH PERKEMBANGAN PERGURUAN TINGGI ISLAM DI INDONESIA
Negara Indonesia adalah negara yang mayoritasnya dari ummat Islam, dan sangat peduli dengan dunia pendidikan, selalu ingin mencari berbagai cara untuk bisa membangun suatu sistem pendidikan Islam yang lengkap, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan bahwa negara Indonesia berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas suatu lembaga pendidikan hingga ke pelosok-pelosok negeri di nusantara ini. Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah Indonesia, yaitu dengan memberi bantuan kepada anak-anak yang kurang akan pendidikan, mendirikan pesantren-pesantren, madrasah-madrasah, dan sampai ke tingkat perguruan tinggi. Sehingga dapat melaksanakan pengajaran dan pendidikan kepada para peserta didik dengan sebaik-baiknya. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pendidik yang terampil, aktif, dan sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi di Indonesia.
Keinginan untuk memiliki perguruan tinggi Islam sudah tertanam dalam diri umat Islam pada masa kolonial Belanda. Dan akhirnya harapan umat islam terwujud untuk memiliki perguruan tinggi Islam pada satu bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tepatnya pada tanggal 8 Juli 1945 bersamaan dengan peringatan hari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Dengan uluran tangan pemerintah penduduk Jepang, didirikanlah sebuah Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta yang dipimpin oleh A. Kahar Muzakkir. Sekolah Tinggi Islam adalah merupakan suatu realisasi kerja dari Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Moh. Hatta dan M. Natsir yang bertujuan untuk mengeluarkan ulama’ yang intelektual yakni ulama yang mempelajari dan mendalami Ilmu Pengetahuan Agama Islam secara luas dan juga menguasai serta mengetahui Ilmu Pengetahuan Umum yang dibutuhkan dalam masyarakat pada zaman modern seperti sekarang ini.
Menuntut ilmu di STI berlangsung selama dua tahun, sampai mencapai gelar Sarjana Muda di tambah dua tahun lagi untuk mencapai gelar yang semacam Sarjana, kemudian setelah menulis tesis, berhak untuk mendapatkan gelar Doktor. Yang di tegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab IV pasal 22 tentang Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan atau seni. Sehingga untuk materi-materi di kegiatan (matrikulasi) yaitu materi yang diberikan itu adalah materi yang digunakan sebagai bekal persiapan, atau sebagai suatu proses adaptasi. Pada tingkat matrikulasi ini terbuka bagi pemegang ijazah Sekolah Menengah Hindia Belanda dahulu, dan juga bagi mereka yang telah lulus dari Madrasah Aliyah. Pada umumnya, kedua lulusan ini masih memerlukan kursus pendahuluan kurang lebih satu atau dua tahu. Bagi lulusan Sekolah Menengah Hindia Belanda, dimaksudkan untuk menambah pengetahuan bahasa Arab dan pengetahuan agama dengan baik, sedangkan bagi lulusan Madrasah Aliyah di maksudkan untuk menambah pengetahuan umum. Sekolah ini adalah perguruan tinggi Islam yang pertama di Indonesia sehingga menjadi embrio lahirnya perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia seperti sekarang ini.
Namum, perguruan ini ternyata tidak bisa bertahan lama di Jakarta dikarenakan pada bulan Desember 1945, sekutu yang di bawah pimpinan Jendral Cristianson, melakukan penutupan perguruan tinggi ini untuk sementara waktu. Dan baru pada tanggal 10 April 1946 STI ini telah dibuka kembali dengan memindahkan ke daerah Yogyakarta, yang di hadiri oleh Presiden Soekarno, dengan subuah pidato yang disampaikan oleh Hatta yaitu sebagai Ketua Dewan Penyatuan. Bertepatan dengan perpindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.
Melihat kebutuhan jaman yang sekarang ini semakin tinggi serta untuk mengembangkan dan meningkatkan evektifitas fungsi dari STI, maka pada bulan November 1947 dibentuklah Panitia Perbaikan STI untuk dirubah menjadi Universitas. Hingga pada akhirnya tanggal 10 Maret 1948, STI berubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan beberapa fakultas yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan dan Fakultas Ekonomi. Selanjutnya pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah pemimpin-pemimpin Islam dan para ulama yang di pelopori oleh Moh. Adnan, Imam Ghozali dan Tritodiningrat juga mendirikan sebuah Universitas Islam di Solo. Tapi dalam satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berada di solo ini bergabung dengan Universitas Islam Indonesia (UII) yang berada di Yogyakarta.
Pada tahun 1950 itu juga Fakultas Agama yang pada awalnya berada di Universita Islam Indinesia di Yogyakarta diserahkan kepada pemerintah yaitu Kementrian Agama yang kemudian dirubah menjadi Peguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950, yang baru dibuka secara resmi pada tanggal 26 September 1951. Harapan yang diberikan kepada ummat Islam Indonesia tampak sekali pada saat Mentri Agama K.H.A Walid Hasjim berpidato dalam peresmian berdirinya PTAIN yang mengatakan:
”pendirian PTAIN pada tanggal 26 September 1951 seakan-akan menganak- emaskan golongan Islam, dan menomorduakan golongan yang lainnya”. Tetapi sesungguhnya tidak. Bagi golongan Islam, sekolah yang mengajarakan pendidikan agama Islam senilai Universitasbelum belum afda di Indonesia, sedangkan bagi yang lainnya sudah memiliki semacam sekolah tinggi teologi. Pendeknya, pendirian perguruan tinggi bagi golongan Islam ini akan diatur berkerjasama dengan golongan lain sehingga akan membawa kebaikan bagi semua golongan agama di Indonesia”.
Adapun tujuan dari PTAIN itu sendiri adalah untuk mengatasi tenaga ahli yang ada dalam bidang agama Islam. Lama pendidikan di PTAIN adalah selama 4 tahun dan pada tingkat Baccalauret dan Doktoral masing-masing mempunya jurusan, yaitu: Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah. Untuk mahasiswa sendiri, selain mendapatkan ilmu-ilmu tentang agama, juga diberikan mata kuliah ’umum’ seperti filsafat, sejarah kebudayaan, sosiologi, azas-azas hukum dan tata negara. Sementara di Jakarta, 6 tahun kemudian berdiri juga Akademi Dinas Agama Islam (AIDA) pada tanggal 14 Agustus 1957 dilandaskan pada Penetapan Mentri Agama no. 1 tahun 1957. Sehingga dari dua perguruan tinggi Islam Inilah kemudian menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

B. LEMBAGA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI INDONESA
1. Mengenai IAIN
Sejarah kelahiran Institut Agama Islam Negeri (IAIN) tidak dapat terlepas dari proses kemunculan perguruan tinggi Islam Di Indonesia terutama STI, UII, PTAIN dan ADIA yang telah dijelaskan di muka. Ada pasal, kemunculan IAIN adalah setafeta perjalanan dan perkembangan perguruan tinggi Islam nusantara yang rumit dan berlaku. Bahkan, ada pandangan bahwa proses kelahiran IAIN setidaknya di masa awal lebih bernuansa politis dari pada semata-mata untuk kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dikarekan suatu proses kemunculan IAIN yang bertolak belakang dari dua hal, yaitu:
a) Secara psiko-sosiologis, hasrat dan cita-cita yang sudah lama terpendam di dalam sanubari umat Islam sejak awal penjajahan Belanda.
b) Secara politis, cita-cita umat Islam tersebut semakin menemukan momentum ketika pemerintah berkepentingan untuk meredam gejolak kekecewaan umat, sekaligus mengatasi instabilitas nasional sebagai akibat menguatkannya sentimen keagamaan dan sentimen kedaerahan (Nazaruddin, 1990: 102).

Kasus yang mencolok dari dua poin tersebut, adalah gejolak ketidakpuasan kaum muslim di tanah Aceh atau yang terkenal dengan pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh. Gubernur Aceh Hasjmy segera melakukan perundingan dengan Mentri PP dan K Dr. Prijono dan Menteri Agama Kyai Wahid Wahab, yang pada akhir September 1959 mencapai suatu kesepakatan untuk mendirikan Fakultas Agama Islam Negeri di Kampus Darussalam. Namun, Menteri PP dan K masih keberatan karena sesuai dengan consensus yang awal hanya saja Depertemen PP dan K yang paling berhak mengelola Uniersitas beserta fakultas-fakultasnya, dan sementara untuk Depertemen yang lainnya hanya boleh mendirikan perguruan setingkat akademi. Sehingga pada akhirnya Depertemen Agama boleh mendirikan perguruan tinggi Islam, tetapi tidak boleh menggunakan nama Universitas.
Pada tanggal 24 Agustus 1960 atau 2 Rabiul Awwal 1380 H. Keluar PP. Nomor 11 Tahun 1960 tanggal 9 Mei 1960, kedua lembaga tersebut dikelola oleh Depertemen Agama, yaitu PTAIN yang berdiri tahun 1950 di Yogyakarta dan ADIA yang berdiri tahun 1957 di Jakarta dileburkan menjadi Institus Agama Islam Negeri (IAIN) tepatnya berpusat di Yogyakarta.
Dengan kedua tempat ini, maka IAIN dengan cepat berkembang menjadi sebuah institut dengan 4 fakultas, yang pada tiap fakultasnya kuliah selama 3 tahun, dan dapat dilengkapi dengan spesialisasi selama 2 tahun.
Keempat fakultas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Fakultas Ushuluddin, yang terdiri dari segi-segi ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti filsafat, tasawuf, perbandingan agama dan dakwah.
2) Fakultas Syari’ah, yang menekankan aspek-aspek praktis dari agama yurisprudensi, taksir, pengetahuan hadis dan sebagainya.
3) Fakultas Tarbiyah, yaitu yang bergerak di bidang pendidikan dan keguruan, yang mempersiapkan guru agama.
4) Fakultas Adab atau Ilmu kemanusiaan, untuk spesialisasi Sejarah Islam serta Bahasa Arab secara khusus.
Bertepatan dengan lustrum pertamanya, pada tanggal 5 Juli 1965, nama IAIN dilengkapi dengan nama tokoh legendaris Sunan Kalijaga, sedang adik kendungnya yang berada di Jakarta di namakan IAIN Syarif Hidayatullah (Isomuddin, 1996: 55).
Tujuan institusional dari IAIN tidaklah berbeda dengan PTAIN, yaitu unntuk memberikan suatu pengajaran dan menjadi pusat perkembangan dan memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam. Sekarang ini, IAIN berkembang dan tersebar di seluruh Indonesia yang berjumlah 14 buah dan 84 Fakultas. Memperhatikan jumlah yang sudah cukup banyak, usianya, sejarah perkembangannya, dan cita-citanya yang begitu suci baik yang pernah di ucapkan oleh Menteri Agama maupun tujuan lembaganya, nampaknya selama ini IAIN belum banyak memberikan mafas dan peningkatan keilmuan bagi bangsa dan ummat Islam khususnya sebagai lembaga perguruan tinggi Islam yang paling tinggi di dalam Depertemen Agama (Abdul Basit, 1990).
Dalam pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 11 tahun 1960 tentang pembentukan IAIN ditegaskan, bahwa IAIN bermaksud umtuk memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Dengan landasan tersebut, diharapkan IAIN akan ’bias’ dan mampu merespon serta menjawab berbagai tentangan dan perubahan zaman yang selalu dinamis. Dari fakta-fakta yang sudah ada, diharapkan arah dan tujuan pengembanga IAIN dapat menghasilkan lulusan akademis, yang mampu untuk menjawab segala tantanagan dan perubahan-perubahan ada di dalam masyarakat yaitu sebagai akibat dari dampak modernisasi dan kemajuan IPTEK. Perubahan-perubahan yang sedang terjadi seperti sekarang ini, sangat memerlukan suatu penegasan orientasi, supaya IAIN mampu beradaptasi dengan perubahan radikal yang terjadi saat ini. Karena dikhawatirkan IAIN akan mengalami kesulitan dalam mengatasi suatu permasalahan dan persoalan yang akan dihadapi.
Sekarang ini, IAIN sudah berdiri secara mandiri yaitu terdapat 14 buah dan tersebar di pelosok-pelosok negara Indonesia. Lebih jelasnya lagi, 14 IAIN yang dimaksud adalah sebagaimana yang tampak dalam tabel berikut:
Tabel:
Rkapitulasi Data Pendidikan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
2. Urgensi Perubahan IAIN Menjadi UIN
Terdapat lima alasan yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN, yaitu sebagai berikut:
Pertama, yaitu adanya suatu perubahan jenis pendidikan yang ada pada Madrasah Aliyah. Jika pada masa lalu Madrasah Aliyah adalah sekolah yang identik dengan agama, maka Madrasah Aliyah yang sekarang ini sudah berubah menjadi sekolah yang bernuansa umum, sehingga tidak lagi terfokus pada agama. Muatan pelajaran umum yang ada pada Madrasah Aliyah sekarang lebih dominan dan lebih kuat dari pada mata pelajaran agama yang sebelumnya.
Pada zaman yang sekarang ini, Madrasah Aliyah merupakan sekolah yang hanya focus dalam bidang agama saja, namun dalam bidang yang lain. Sehingga sekarang ini sudah ada jurusan Fisika, Bahasa, Sosial, dan Eksakta. Lulusan dari Madrasah Aliyah akan sulit untuk bisa masuk di IAIN jika IAIN masih saja terfokus atau dominan dengan bidang agama saja. Supaya lulusan dari Madrasah Aliyah bisa masuk di IAIN, maka IAIN haru di rubah menjadi sebuah unuversitas, dan jika tidak segera dilaksanakan perubahan, maka akan sangat berdampak sekali untuk IAIN sendiri karena IAIN tidak dapat dimasuki oleh para lulusan dari Madrasah Aliyah tersebut.
Dengan perubahan IAIN menjadi UIN, maka akan banyak memberikan peluang bagi para lulusan Madrasah Aliyah dan tidak itu saja, perubahan IAIN menjadi UIN juga akan banyak menampung dari lulusan yang selain Madrasah Aliyah seperti dari lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) untuk menambah banyak ilmu di UIN.
Perubahan IAIN menjadi UIN ini, dikarenakan mengemban misi pemberdayaan ummat Islam pada masa yang akan datang. Yang sejalan dengan pemikiran Alfin Toffler yang mengatakan bahwa semua proses pendidikan adalah suatu kegiatan yang lahir dari suatu pandangan ke masa depan, atau dengan pesan Nabi Muhammad SAW. Yang mengingatkan bahwa generasi muda sekarang hendaknya di didik sesuai dengan prinsip bahwa mereka akan hidup pada zamannya sendiri, bukan zaman kita.

Kedua, adanya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah dikotomi tersebut antara lain dapat diatasi dengan program integrasi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Melalui perubahan IAIN menjadi UIN maka bisa dilakukan apa yang disebut sebagai islamisasi, spiritualisasi, atau integrasi antara ilmu pengetahuan. Yaitu, upaya saling mendekatkan diri antara satu dan yang lainnya. Sarana ilmu agama diberi wawasan ilmu pengetahuan umum, dan sarjana ilmu pengetahuan umum diberi wawasan ilmu agaman. Dengan demikian, terciptalah intelek yang ulama, dan ulama yang intelek.
Ketiga, pembaharuan IAIN menjadi UIN akan memberikan peluang kepada para lulusannya untuk dapat memasuki lapangan kerja yang lebih luas.
Saat ini, sarjana IAIN sebagian besar hanya bekerja di Departemen Agama RI, walaupun mereka bekerja di Departemen Agama tapi dalam bidang pekerjaan mereka masih tetap sama, yaitu dalam bidang keagamaan. Kebanyakan lulusan dari IAIN memang ada yang menjadi pejabat tinggi seperti menjadi menteri, anggota legislatif, dan dan jabatan yang lainnya. Secara keseluruhan pekerjaan mereka tetap saja dalam bidang agama. Karena masih jarang lulusan atau sarjana dari IAIN pekerjaannya menjadi direktur sebuah bank, direktur Pertamina, dan jabatan-jabatan yang strategis non-keagamaan lainnya. Jabatan-jabatan tersebut hanya bisa di masuki oleh sarjana atau lulusan dari selain IAIN. Namun jabatan-jabatan tersebut bisa dimasuki oleh sarjana IAIN tetapi IAIN harus dirubah menjadi UIN terlebih dahulu. Dalam hubungan ini kita dapat mengatakan bahwa jika jabatan-jabatan non-keagamaan tersebut dapat diisi oleh tamatan UIN, maka diharapkan akan memiliki nilai plus. Yaitu, karena para sarjana tamatan UIN ini selain menguasai bidang keahlian dan keilmuan yang dibutuhkan lapangan kerja, juga memiliki dasar agama yang kuat, yang pada gilirannya dapat memperkuat akhlak dan moral pekerjaan.
Keempat, perubahan IAIN menjadi UIN diperlukan dalam rangka memberikan peluang kepada lulusan IAIN untuk melakukan mobilitas vertical, yakni kesempatan dan peran untuk memasuki medan yang lebih luas. Lulusan UIN ini nantinya tidak akan termarginalisasikan (terpinggirkan) lagi, melaikan akan bisa memasuki wilayah gerak yang lebih bervariasi dan bergengsi. Posisi mereka tidak nantinya tidak hanya berada pada wilayah pingiran, suplement, dan kurang diperhitungkan, melainkan berada dalam wilayah strategis dan diperhitungkan orang.
Kelima, perubahan IAIN menjadi UIN juga sejalan dengan tuntutan umat Islam yang selain menghendaki adanya pelayanan penyelenggaraan pendidikan yang profesional dan berkualitas tinggi, juga lebih menawarkan banyaknya pilihan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari adanya tuntutan dari era globalisasi yang menghendaki lahirnya manusia-manusia yang penuh tantangan dan kompetitif.
Itulah sebab-sebab mengapa IAIN perlu dirubah menjadi UIN. Dan perubahan ini nampak mendesak dan sudah waktunya untuk dilakukan.
Berbagai upaya kea rah itu sudah dilakukan, dengan menerapkan konsep IAIN with Wider Mandate (IAIN dengan mandat yang lebih luas). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perubahan IAIN menjadi UIN memiliki dasar pemikiran yang cukup kuat dan peran yang amat strategis bagi pengenbangan Islam di Indonesia dan pemberdayaan umat dalam rangka menyongsong era globalisasi yang menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, sehingga mampu bersaing dipasaran global. Permasalahan yang akan mengganggu terwujudnya rencana perbahan IAIN menjadi UIN sudah pasti ada, terutama kekhawatiran akan hilang dan menciutnya fakultas-fakultas agama yang ada di IAIN saat ini, serta hal-hal lain yang bersifat sikologis politik. Namun, berbagai sosuli untuk mengatasi permasalahan tersebut juga sudah ada. Tinggal saja kemauan, kesungguhan dan kesanggupan dari pimpinan dan penggelola IAIN saat ini dal dimasa yang akan datang. Untuk mengatasinya, saya menduga, andai kata para pendiri IAIN dimasa lalu masih hidup dimasa sekarang, dan melihat adanya perubahan-perubahan besar yang terjadi dimasyarakat, niscaya mereka diduga akan melakukan langkah perubahan IAIN ke dalam bentuk universitas atau lainnya yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
C. Sistem Pendidikan Tinggi Islam
Sistem pendidikan tinggi dengan variable utamanya seperti tujuan, program pendidikan, pengajar, dan sarana fisik serta serta sarana akademisnya, perbedaannnya hanya terletak pada gedung kuliah, laboratorium, dan administrasi akademis bukan dalam ruang lingkup. Dalam table ini, agar tergambar konfigurasi pendidikan tinggi dalam sistem pendidikan tinggi yang lazim dipraktikkan sekarang dalam bentuk universitas atau institus Islam yang menyesuaikan diri kepada universitas dan atau institut negeri.
Jika tujuan stategis diterima (paling tidak sebagai suatu premis), maka tujuan yang operasional dari tujuan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Tujuan oprasional perguruan tinggi Islam adalah:
a) Menyiapkan mahasiswa untuk mampu hidup sebagai manusia dan sebagai warga negara atau anggota masyarakat yang baik dan baik sebagai manusia yang baik. Dengan demikian perkataan lain, menyiapkan mahasiswa atau santri sebgai muslim yang baik (untuk kehidupannya di dunia dan di akhirat).
b) Menciptakan (infensi) dan mengembangkan (inovasi) ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan agama (dalam arti khusus), dan ilmu pengetahuan umum.
c) Mencari dan mengembangkan bentuk-bentuk penerapan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dalam memecahkan masalah-masalah kepemimpinan, masyarakat, ekonomi, serta sosial (dan politik).

PENUTUP

Dengan adanya Perguruan Tinggi Islam yang ada di Indonesia ini, semua calon pemimpin-pemimpin bangsa bisa mengemban dan menggali ilmu dengan sedalam-dalamnya di perguruan-perguran tersebut. Supaya mereka dapat meraih cita-citanya dan dapat pula bekerja di banyak lapangan pekerjaan, baik dalam bidang umum maupun dalam bidang agama Islam pula.
Maka dari pada itu, sangat diharapkan sekali bagi para penerus bangsa Indonesia, tidak cuma berbekal dari ilmu pengetahuan umum saja melainkan ilmu agamanya juga dapat. Sehingga bisa memimpin negara Indonesia ini dengan sistem yang bernuansa umum dan di kontribusikan dengan akhlaq yang sudah tertera dan di tulis dalam A-Qur’an dan As-Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
Feisal, Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan.Jakarta: LSIK-PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Ishomuddin, Spektrum Pendidikan Islam. Malang: UMM Press,1996.
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia.Malang: UMM Press, 2006.
Nata, Abuddin. Mananjemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia.Jakarta: Kencana, 2008.

Silakan Tinggalkan Komentar